Jakarta, SatuRakyat – Setelah pencabutan pembatasan wisata, Jepang menghadapi masalah lonjakan wisatawan. Lonjakan tersebut menimbulkan kekhawatiran akan dampak dari para turis kepada lingkungan dan sensitivitas budaya. Meskipun mendapat peningkatan ekonomi, pihak berwenang kesulitan untuk mengelola gelombang wisatawan. Beberapa wisatawan di destinasi populer bertingkah laku tidak sopan.

Pasar Ikonik Tokyo, Pasar Tsukiji, mengalami lonjakan wisatawan, berkontribusi terhadap industri pariwisata. Namun tanda yang dipasang menggunakan bahasa Inggris untuk menghimbau agar tidak membuang sampah sembarangan, adalah sisi negatif ledakan wisatawan.

Tahun lalu, 25.8 juta wisatawan berbondong-bondong ke Jepang, mereka menghabiskan dana sampai ¥5,3 triliun. Pemerintah menargetkan 60 juta wisatawan dan pemasukan sampai ¥15 triliun pada akhir dekade ini. Kritikus berpendapat bahwa Jepang belum siap menghadapi jumlah wisatawan yang begitu besar, karena terbatasnya akomodasi, transportasi umum, juga kekurangan tenaga kerja.

Perdana Menteri Fumio Kishida melihat sebuah “negara pariwisata”, menyeimbangkan manfaat pariwisata dengan kualitas hidup penduduk setempat. Langkah-langkah diusulkan untuk meningkatkan pilihan transportasi, menaikkan tarif angkutan umum pada jam sibuk, mempromosikan destinasi kurang terkenal demi mengalihkan wisatawan kota-kota besar.

Kyoto, dipenuhi lebih 43 juta wisatawan pada tahun 2022, merupakan simbol masalah “polusi pariwisata.” Warga terpecah antara manfaat pada ekonomi dan masalah yang disebabkan para wisatawan.

Lokasi wisata kurang dikenal juga merasakan dampaknya karena wisatawan berbondong-bondong mencari konten media sosial, sehingga menyebabkan pemerintah daerah menerapkan langkah untuk melindungi situs bersejarah dan ekologis. Biaya masuk juga retribusi acara tertentu diberlakukan demi mengatur keramaian juga mendanai upaya konservasi.

Meskipun bisnis seperti Pasar Tsukiji Jepang mendapat manfaat dari lonjakan wisatawan, ada beberapa masalah seperti wisatawan membuang sampah sembarangan. Meski ada upaya untuk mengatasi masalah ini, wisatawan didesak agar menghormati adat istiadat setempat dan meminimalkan dampak kerusakan lingkungan.

Ketika Jepang terus mendefinisikan ulang dirinya sebagai destinasi yang wajib dikunjungi, upaya menyeimbangkan antara keuntungan ekonomi dan pelestarian lingkungan masih menjadi masalah signifikan.

Baca Juga : Festival Viking Skotlandia