
1. PPN 12%
Mulai tanggal 1 Januari 2025, tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan mengalami peningkatan dari 11% menjadi 12%. Kenaikan tersebut didasarkan pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
PPN merupakan pungutan pajak yang dikenakan atas transaksi jual beli barang dan jasa yang dilakukan oleh subjek pajak, baik individu maupun badan usaha. Dengan demikian, masyarakat umum akan menanggung biaya yang lebih besar untuk setiap pembelian barang atau jasa yang dikenai PPN.
Tidak semua barang dan jasa dikenakan PPN. Kebutuhan pokok masyarakat, jasa pendidikan, layanan kesehatan, dan transportasi umum tetap terbebas dari PPN (PPN 0%). Sementara itu, tepung terigu, gula industri, dan minyak goreng akan tetap dikenai PPN 11% karena selisih kenaikan 1% akan ditanggung oleh Pemerintah melalui skema Dana Transfer ke Daerah (DTP) selama tahun 2025.
Pemerintah telah mengidentifikasi barang dan jasa yang akan dikenai tarif PPN 12%, yaitu barang dan jasa yang tergolong mewah, seperti makanan premium, layanan rumah sakit VIP, dan pendidikan berstandar internasional dengan biaya yang tinggi. Namun, daftar resmi dari barang dan jasa tersebut belum diterbitkan hingga saat ini.
2. Opsen Pajak Bagi Kendaraan Bermotor
Pemerintah akan menerapkan pajak tambahan kendaraan bermotor (Opsen PKB) per 5 Januari 2025 sesuai amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD).
Opsen PKB berupa pungutan ekstra yang dibebankan oleh kabupaten/kota terhadap pajak pokok kendaraan bermotor (PKB). Tujuan kebijakan ini adalah untuk meningkatkan sinergi pengumpulan dan mempercepat pendistribusian pajak, sehingga diharapkan dapat meningkatkan pendapatan pajak.
Sebelum UU HKPD berlaku, PKB dipungut oleh provinsi dan 30% di antaranya disetorkan ke kabupaten/kota. Dengan adanya Opsen PKB, pemerintah kabupaten/kota dapat langsung memungut pajak melalui Opsen PKB tanpa menunggu transfer dari provinsi.
Opsen PKB juga akan diterapkan pada bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) dan mineral bukan logam dan batuan (MBLB). Besaran tarif Opsen PKB diatur dalam Pasal 83 ayat (1) yaitu sebesar 66% dari pajak pokok kendaraan bermotor.
3. Harga Jual Rokok Eceran
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 97 Tahun 2024, Harga Jual Eceran (HJE) rokok akan meningkat sejak 1 Januari 2025, meskipun Cukai Hasil Tembakau (CHT) tetap pada tarif semula. Kenaikan HJE dimaksudkan untuk mengendalikan konsumsi rokok, melindungi industri padat karya tembakau yang diproduksi secara non-otomatis, serta mengoptimalkan penerimaan negara.
4. Asuransi Tanggung Jawab Pihak Ketiga (Third Party Liability)
Pemerintah akan memberlakukan kewajiban asuransi bagi seluruh kendaraan bermotor, yaitu asuransi tanggung jawab hukum pihak ketiga (TPL).
Ketentuan ini tercantum dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK). Pada Pasal 39A, pemerintah diberikan wewenang untuk menetapkan Program Asuransi Wajib sesuai kebutuhan.
Pelaksanaan kewajiban asuransi TPL tersebut masih menunggu diterbitkannya Peraturan Pemerintah. Namun, undang-undang mengamanatkan bahwa peraturan tersebut harus disahkan paling lambat dua tahun sejak tanggal pengundangan UU PPSK pada 12 Januari 2023, yaitu pada tahun 2025.
“Diharapkan Peraturan Pemerintah tentang asuransi wajib ini diterbitkan sesuai dengan ketentuan UU PPSK, paling lambat dua tahun sejak pengundangan, yaitu Januari 2025, sehingga setiap kendaraan bermotor memiliki asuransi TPL,” jelas Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun OJK, Ogi Prastomiyono, dalam Insurance Forum 2024.
5.Iuran Tambahan Untuk Dana Pensiun
Pemerintah tengah merancang peraturan mengenai kewajiban dana pensiun bagi pekerja di Indonesia. Ketentuan ini mewajibkan karyawan dengan penghasilan di atas nilai tertentu untuk membayar iuran tambahan di luar Jaminan Hari Tua (JHT) dari BPJS Ketenagakerjaan.
Aturan ini akan dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) dan selanjutnya diperinci dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK). Penyelenggaraannya dapat melalui Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK).
“Karyawan yang berpendapatan di atas nilai tertentu wajib memberikan iuran pensiun tambahan secara sukarela,” terang Ogi dalam acara HUT ADPI ke-39 di Jakarta.
Tujuannya adalah meningkatkan rasio penggantian (replacement ratio), yaitu perbandingan penghasilan saat pensiun dengan saat masih bekerja. Pasalnya, rasio penggantian di Indonesia saat ini masih di bawah standar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO).
OJK sebelumnya menargetkan besarnya perlindungan pensiun sebesar 40% dari penghasilan terakhir. Cakupan perlindungan saat ini masih 20%.
“Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) akan mengatur ketentuan besaran penghasilan yang akan dikenakan iuran tambahan dan pelaksanaannya melalui persaingan. Pelaksanaannya dapat melalui DPPK atau BPJS TK,” jelas Ogi.
Selain itu, BPJS TK yang bersifat jaminan sosial juga akan diperluas cakupannya. Saat ini, cakupan perlindungan JHT dan Jaminan Pensiun di BPJS TK sebesar 8,7% dari penghasilan terakhir.
“Cakupan ini akan ditingkatkan hingga 40%, sehingga manfaat pensiun dapat mencapai 40% dari penghasilan terakhir. Aturannya akan diterbitkan pada Januari 2025, dan OJK akan mengeluarkan peraturan turunan untuk implementasinya,” tambahnya.
Baca Juga : Pandemi Covid-19 dan Misteri yang Belum Terpecahkan: Apa yang Perlu Kita Ketahui dari China?